Selamat Datang Di Website Resmi, SUARA INDEPENDEN JURNALIS INDONESIA

Bukan Jaga Hutan, Tapi Jaga Pokir

 



Banda Aceh aceh.siji.or.id 6/5/2025

Di balik wajah seorang pawang hutan yang terlihat serius menjaga alam, tersembunyi modus kejahatan yang lebih licik dan merusak: mereka menyamar sebagai wartawan untuk meraup miliaran rupiah dari anggaran pokir pemerintah. Para oknum ini, meski berlatar belakang pendidikan yang rapi—beberapa di antaranya di bidang teknik dan pendidikan—lebih banyak menerapkan ilmu mereka dalam mengelola uang negara ketimbang mengurus hutan atau pendidikan.


Ery Iskandar, yang telah lama mencium aroma korupsi ini, mengungkapkan bahwa mereka tidak hanya memanfaatkan sertifikasi wartawan untuk mengakses dana publik, tetapi juga menyusup ke dalam dunia pendidikan untuk mencetak kaki tangan yang akan terus mengamankan praktik mereka. Para pawang hutan ini mencetak generasi baru yang terampil dalam meraup keuntungan melalui pengelolaan anggaran pokir.


“Di balik ilmu teknik dan pendidikan yang mereka pelajari, mereka lebih sibuk mengolah proposal, melobi pejabat, dan menyusun anggaran media yang tidak jelas asal-usulnya. Ada yang jadi dosen, mengajarkan seolah-olah mereka berkontribusi pada pendidikan, padahal mereka lebih banyak mengajarkan cara meraup keuntungan dari APBD dan dana publik,” ungkap Ery dengan nada kesal.


Namun yang lebih mencengangkan, modus mereka tak hanya terbatas pada dunia pendidikan dan pengelolaan anggaran. Mereka juga memanfaatkan keberadaan media abal-abal yang mereka dirikan sebagai kedok untuk mengumpulkan iklan dari program pokir pemerintah. Iklan-iklan ini, yang seharusnya digunakan untuk kegiatan sosial atau pembangunan, justru mengalir deras ke rekening pribadi mereka. Dengan label media yang terverifikasi, mereka berhasil menipu pemerintah dan masyarakat, membiarkan uang negara mengalir ke kantong mereka tanpa ada yang menanyakan pertanggungjawaban.


“Seolah-olah mereka bekerja di dunia jurnalistik yang murni, padahal mereka hanya menyamar untuk meraup keuntungan pribadi. Media ini hanya kedok, sementara uang negara terus mengalir ke rekening mereka,” tambah Ery.


Aksi mereka yang terungkap oleh lembaga auditor tak menghentikan mereka. Sebaliknya, oknum-oknum ini justru berlomba-lomba menyewa tempat dan mempalsukan alamat kantor, memperalat oknum wartawan utama dan mencatut nama-nama fiktif dalam redaksi agar mereka bisa lolos di Dewan Pers dan menjadi media terverifikasi. Hal ini membuat mereka bebas meraup iklan pokir miliaran rupiah tiap tahun. Bahkan, dengan modal web murah, mereka bisa mengajukan ribuan artikel berbayar dan mendapatkan anggaran yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik.


Meski kemampuan jurnalistik mereka diragukan, ada beberapa dari mereka yang berhasil menyusup ke organisasi pers ternama, menjadi wartawan ber-UKW, dan menjadi anggota organisasi perusahaan media. “Kok bisa lulus UKW ya, padahal dia aktif sebagai pawang hutan saat itu? Polisi saja banyak yang gagal nyamar sebagai wartawan, padahal bukan untuk meraup iklan miliaran,” sesal Ery.


Tak hanya itu, ada pula oknum yang setiap hari keluar kota untuk menjadi dosen. "Kapan ngajar, kapan jaga hutan, kapan jadi aktivis LSM, dan kapan meliput berita, kapan olah proposal, lobi pejabat supaya dapat miliaran iklan pertahun?" gugat Ery.


Keberadaan mereka di dunia pendidikan dan media bukan hanya menambah ironi, tapi juga merusak integritas dua dunia yang seharusnya memberikan kontribusi positif untuk masyarakat. Para oknum ini tidak hanya meraup anggaran media, mereka juga memperalat wartawan-wartawan utama yang sudah berpengalaman untuk dijadikan tumbal dan beking demi kelancaran aksi jahat mereka. “Kasihan saya lihat bapak itu, nama dia jadi rusak sejak diperalat pawang hutan,” ungkap Ery dengan nada prihatin.


Ery dan kawan-kawannya tidak akan diam begitu saja. Mereka bertekad untuk mengungkapkan semua skandal ini kepada publik. Dalam setiap langkah perjuangannya, mereka berusaha memperlihatkan wajah asli para pelaku: mereka yang menyamar sebagai wartawan untuk meraup keuntungan dari anggaran pokir, sementara hutan yang mereka klaim 'dijaga' tetap gundul, dan anggaran yang seharusnya digunakan untuk rakyat malah terkuras untuk kepentingan pribadi.


Ery menegaskan, "APH sudah bisa menindaklanjuti informasi ini, pawang hutan itu layak ditangkap sebelum anggaran negara bobol lebih banyak lagi."

 (Hery)

0 Komentar