Aceh.siji.or.id Banda Aceh 7/6/2025
Sejumlah oknum wartawan yang marah ketika disorot atas sikap diam mereka terhadap kejahatan lingkungan disebut pemantau pers Ery Iskandar sebagai bukti lemahnya integritas profesi. Pernyataan ini disampaikan Ery pada Sabtu, 8 Juni 2025.
“Kalau tak terima dituding tutup mata, mana berita dan sorotannya? Kalau selama ini diam dan bungkam, jangan cuma berteriak saat kena sorot,” kata Ery.
Menurutnya, wartawan sejati tak akan alergi dikritik apalagi mengancam lewat laporan polisi hanya karena ditegur. Sebaliknya, mereka harus berani menyuarakan kebenaran meski pahit.
Ery Iskandar menyoroti fenomena sejumlah oknum wartawan yang memilih bungkam di tengah maraknya kejahatan lingkungan seperti tambang ilegal, galian C tanpa izin, dan illegal logging yang merusak ekosistem dan masyarakat setempat. Ketika media lain mencoba membuka tabir kejahatan tersebut, oknum yang selama ini diam justru menuding balik dan mengancam dengan pasal hukum.
“Ini bukan soal martabat wartawan, tapi soal integritas dan keberanian,” ujar Ery. “Wartawan sejati berani memotret kenyataan, bukan menutup-nutupi atau pura-pura tidak lihat.”
Lebih lanjut, Ery mengkritik perilaku wartawan yang selama ini lebih sibuk menjaga hubungan baik dengan pejabat atau pengusaha ketimbang menjalankan fungsi kontrol sosial. Ia menilai sikap ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap kode etik jurnalistik.
“Kalau masih mengemis belas kasihan pejabat agar diberikan ‘jatah’ berita atau anggaran publikasi, jangan merasa paling suci. Itu merendahkan profesi kita,” kata Ery.
Kritik keras Ery juga menyasar oknum wartawan yang cepat mengerahkan jalur hukum saat mendapat sorotan, alih-alih introspeksi diri. Menurutnya, sikap tersebut mencerminkan mental yang tak siap menerima koreksi dan justru memperlihatkan lemahnya profesionalisme.
“Lapor polisi saat dikritik? Ini bukan tanda kuat, tapi tanda takut dan lemah,” katanya tegas. “Kapan demokrasi bisa maju kalau yang seharusnya jadi garda terdepan malah menghindar dari kritik?”
Dalam era keterbukaan informasi, keberanian mengungkap kebenaran sangat dibutuhkan demi menjaga akuntabilitas dan melindungi kepentingan publik. Wartawan yang memilih diam saat kejahatan merajalela tapi marah saat disorot, menurut Ery, bukan pahlawan pers melainkan penghambat kemajuan demokrasi.
Ery juga mengingatkan bahwa wartawan adalah penjaga suara publik, bukan penjaga kenyamanan kelompok tertentu. Fungsi pers sebagai pilar keempat demokrasi hanya bisa berjalan jika para jurnalis mampu menjalankan peran pengawas dan pemberi kritik secara objektif.
“Jika sesama wartawan saja tidak boleh dikritik, bagaimana rakyat bisa berharap mendapatkan informasi yang jujur?” katanya.
Ia menegaskan bahwa kritik antar wartawan harus dilihat sebagai sarana memperbaiki kualitas kerja dan profesionalisme, bukan sebagai ajang adu kekuatan atau ancaman hukum.
Menanggapi fenomena ini, sejumlah pengamat pers dan akademisi menyatakan keprihatinan serupa. Mereka menilai bahwa perbaikan kualitas SDM dan penguatan etika profesi menjadi kunci utama agar pers dapat menjalankan fungsinya secara optimal.
Penguatan kode etik dan mekanisme pengawasan internal organisasi profesi dianggap penting untuk menangkal praktik-praktik buruk yang mencoreng citra wartawan.
Sementara itu, masyarakat yang selama ini menjadi korban kejahatan lingkungan berharap agar pers benar-benar menjadi kekuatan pengawal kebenaran. Mereka menginginkan wartawan yang berani bersuara tanpa takut tekanan apapun.
“Kalau wartawan takut dan diam, siapa yang akan membela kami?” kata seorang warga terdampak tambang ilegal di sebuah pulau terpencil.
Ery Iskandar mengakhiri pernyataannya dengan pesan kuat:
“Kalau tidak siap menerima kritik dan masih mengandalkan laporan polisi untuk menakut-nakuti, lebih baik tinggalkan profesi ini. Wartawan sejati bukan hanya pencetak berita, tapi pengawal kebenaran. Dan kebenaran kadang pahit, tapi harus tetap disuarakan.” (AW/AB)
0 Komentar