Selamat Datang Di Website Resmi, SUARA INDEPENDEN JURNALIS INDONESIA

Bayang-Bayang Kepentingan di Balik Kursi Panas Dirut Bank Aceh



Aceh.siji.or.id 11/6/2025 Banda Aceh

Gubernur Aceh Muzakir Manaf, selaku pemegang saham pengendali PT Bank Aceh Syariah, telah mengusulkan dua nama untuk posisi Direktur Utama. Dari nama-nama itu, Syahrul—saat ini menjabat sebagai Pemimpin Divisi Perencanaan—menjadi calon terkuat. Namun proses ini, yang seolah rutin dan normatif, menyimpan riak panjang yang nyaris tak terdengar publik.


Bank Aceh, satu-satunya bank milik rakyat Aceh, selama ini bukan hanya entitas keuangan, melainkan juga medan tarik-menarik kepentingan politik, ekonomi, dan kekuasaan. Dalam dua tahun terakhir, proses seleksi pucuk pimpinan di bank ini telah mengalami pasang surut yang penuh teka-teki. Nama Fadhil Ilyas, misalnya, telah dua kali ditolak OJK lewat keputusan resmi: pertama pada 2022 (SR-100/PB.101/2022), dan kedua pada 2024 (SR-343/PB.02/2024).


Berbeda dengan Fadhil, Syahrul masih “bersih” dari catatan penolakan. Ini menjadi nilai lebih di tengah ketatnya syarat seleksi berdasarkan POJK 17/2023, yang mengharuskan mayoritas direksi memiliki pengalaman minimal lima tahun sebagai pejabat eksekutif bank. Namun latar belakang "bersih" itu bukan satu-satunya alasan mengapa Syahrul disebut-sebut sebagai figur paling aman. Ia juga dinilai netral dari konflik lama, serta tak memiliki jejak langsung dalam lobi-lobi politik yang selama ini membelit proses pengangkatan direksi.


Namun dari berbagai informasi yang berhasil dihimpun, ternyata tak sedikit manuver tersembunyi di balik seleksi ini. Beberapa pihak internal mengeluhkan proses komunikasi yang tertutup, serta dugaan intervensi dari luar institusi bank yang mencoba memengaruhi arah keputusan pemegang saham. Ketika uang rakyat menjadi taruhannya, seharusnya transparansi menjadi prinsip utama.


Dalam beberapa tahun terakhir, Bank Aceh juga pernah disebut dalam sejumlah sorotan, baik yang menyangkut keputusan investasi, pembiayaan bermasalah, maupun kebijakan pemasaran yang dianggap boros. Namun isu-isu tersebut tak pernah benar-benar menjadi konsumsi publik. Mengapa?


Investigasi ini menemukan bahwa lemahnya pengawasan publik terhadap Bank Aceh Syariah bukan karena tak adanya masalah, melainkan karena tak adanya keberanian untuk menyuarakannya secara terbuka. Sumber-sumber menyebutkan bahwa ada semacam “pakta diam” tidak tertulis di kalangan para pemilik media dan sebagian oknum jurnalis yang selama ini menjadikan Bank Aceh sebagai ladang pemasukan rutin—bukan lewat liputan kritis, tetapi melalui paket iklan, kerja sama publikasi, hingga kegiatan jalan-jalan bertajuk “penguatan kapasitas pers”.


Seorang jurnalis muda media lokal yang kami temui mengakui bahwa dalam momentum tertentu seperti menjelang Ramadhan dan Idul Fitri, Bank Aceh Syariah secara rutin menyalurkan "paket meugang" atau bingkisan hari raya kepada puluhan bahkan ratusan wartawan. Tak sedikit pula yang menerima bantuan transportasi untuk kegiatan liputan luar kota yang tak pernah diterbitkan. Beberapa wartawan bahkan dikabarkan rutin diundang dalam kegiatan luar daerah dengan akomodasi penuh, dengan dalih pelatihan jurnalistik atau diskusi publik.


“Jatah itu sudah dianggap hal biasa. Kalau kritis, ya bisa dicoret dari daftar,” ujar jurnalis muda tersebut, yang meminta agar identitasnya tak dituliskan demi keamanan.


Celoteh seperti ini menandakan bahwa ada konflik kepentingan serius antara fungsi pers sebagai pengawas publik dengan relasi transaksional yang dijalin antara Bank Aceh dan sebagian kalangan media. Ini pula yang membuat publik Aceh kehilangan akses terhadap informasi bermutu seputar tata kelola bank miliknya sendiri.


“Wajar kalau isu internal bank tak pernah terekspos. Banyak pihak sudah merasa nyaman dengan jatah yang ada,” ujar Ery Iskandar, pengamat pers dan etika jurnalistik di Aceh. Ia menyebut, praktik seperti ini mencoreng nama jurnalisme itu sendiri. “Ketika wartawan lebih takut kehilangan jatah daripada kehilangan kebenaran, maka yang lahir bukan berita—melainkan promosi berselubung etika.”


Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka Bank Aceh bukan hanya gagal menjadi lembaga keuangan profesional, tetapi juga menjadi simbol kerusakan sistemik di mana uang publik dipakai untuk membeli diam, dan kepentingan rakyat dikalahkan oleh kenyamanan segelintir elite dan oknum yang menikmati sistem ini. Bank milik rakyat Aceh layak dipimpin oleh orang yang bersih, dan diawasi oleh pers yang merdeka—bukan oleh juru ketik yang sudah kenyang jatah meugang.

 (Tim Investigasi)

0 Komentar